Menguras Emosi : Review Novel Seribu Wajah Ayah

Februari 06, 2024


“Maafkan ayah yang tak bisa sempurna dan selalu ada. Maafkan mataharimu ini bila sering kali sinarnya redup. Mungkin di matamu ayah tak lagi pantas disebut matahari. Meski begitu, ayah mohon jangan pernah membenci ayah.” (hal. 122)


“Seribu Wajah Ayah” adalah novel yang ditulis oleh Nurun Ala yang diterbitkan oleh PT Grasindo Anggota Ikapi, Jakarta, pada Maret tahun 2020. Buat aku yang ngga pernah baca novel, ini termasuk novel ringan yang terdiri dari 130-an halaman.


Blurb

Novel "Seribu Wajah Ayah" mengisahkan tentang ikatan erat antara seorang ayah dan anaknya yang merupakan anak tunggal. Cerita dimulai dengan kepulangan sang anak yang tiba-tiba setelah kematian sang ayah. Saat membuka sebuah album foto yang berisi sepuluh gambar kenangan penting, ia dihadapkan pada momen-momen berharga yang pernah ia dan sang ayah lalui bersama. Sebagai anak piatu yang tumbuh tanpa ibu, hubungan mereka berdua begitu mendalam. Kehilangan sang ayah di saat ia sedang jauh merantau, membuatnya terpukul dan dipenuhi dengan penyesalan. Melalui album foto tersebut, kenangan tentang berbagai ekspresi sang ayah—termasuk kemarahan, kesedihan, kebanggaan, kekecewaan, dan kesedihan—mengalir kembali. Di tengah rasa sedih itu, sang anak menyadari bahwa masih banyak sisi dari ayahnya yang ia tidak sadari.




My First Impression 

Selama ini aku lebih suka membaca non-fiksi, dan ini adalah novel pertama yang aku baca di tahun 2024. Seiring berjalannya waktu, aku ingin membaca lebih banyak variasi bacaan, ngga sebatas buku-buku self-improvement aja. Pas banget momennya, salah satu temanku, sebut saja admin akber, ingin mentraktrir aku buku. Saat itu aku minta novel, dan taraaa, ini dia salah satunya “Seribu Wajah Ayah.”



Pertama kali aku baca judulnya, “wah menarik nih.” Tapi di sisi lain, aku sebenarnya ragu untuk membacanya. Entah kenapa, setiap bacaan yang berbau orang tua, terutama ayah selalu saja rasanya aku ngga siap untuk membacanya karena itu topik yang sangat sentimental untukku, ya, paling-paling aku bakalan mewek.




My Impression Setelah Membaca

Setelah selesai baca novel ini, aku merasa terkesan dengan kepiawaian penulis dalam menyampaikan cerita yang begitu memikat. Pendekatan tanpa menyebutkan nama karakter dan menggunakan ‘kamu’ sebagai pengganti nama karakter sang anak ini memberi pengalaman seolah-olah kamulah yang menjadi tokoh utama dalam novel ini. Menurutku, pendekatan itu tepat banget karena bikin aku jadi terhanyut dalam cerita dan lebih menguras emosi.


Meskipun aku ngga bisa sepenuhnya relate dengan pengalaman ‘kamu’ dalam novel dan hubungannya dengan sang ayah, penulis berhasil membuat aku terharu dan menangis di beberapa bagian.


Novel ini banyak mengajak kita merenungi momen-momen berharga bersama orang tua. Saat membaca novel ini, aku juga jadi terdorong untuk introspeksi diri, terutama soal betapa berharga dan pentingnya ‘waktu’ yang masih kita miliki dengan orang tua kita saat ini. Ini harus benar-benar kita syukuri dan manfaatkan sebaik-baiknya.




Kutipan Favorit 

“Hidupkanlah lagi ayahmu di dalam hatimupanjangkanlah umurnya dengan doa-doa setelah salat khusyukmu. Peluklah nasihat-nasihatnya untuk menjadi penuntun jalanmu.” (hal. 129)


“Dan terberkatilah selalu manusia-manusia yang merdeka—siapa saja yang telah berani melangkah dari masa lalu. Bahwa memang tak seharusnya kita terus menangisi apa-apa yang telah terjadi.” (hal. 130)


“Ayahmu sudah berjanji untuk mencintaimu hingga akhir hayatnya, ia paham betul konsekuensi yang harus dihadapi sebagai seorang pecinta sejati….. Pecinta sejati dituntut untuk memiliki ketulusan memberi tanpa harap kembali. Pecinta sejati harus belajar untuk membebaskan—merelakan orang-orang yang dicintainya melakukan kebaikan-kebaikan yang akan menumbuhkannya” (hal. 42)


Aku menyadari satu hal lagi setelah membaca novel ini, bahwa dari berbagai emosi yang orang tua kita, terutama ayah tunjukan ke kita, seperti kemarahan, kekecewaaan, dan tawa, masih banyak sisi lain dari sosok ayah kita yang mungkin kita ngga menyadarinya. Entah karena kita terlalu fokus sama diri sendiri atau bahkan karena kita ngga mau mencoba memahaminya. Namun, dari semua itu, aku yakin kasih sayang orang tua tetap ada sepanjang masa. Mereka selalu menyayangi kita meskipun tidak selalu menunjukkannya secara terang-terangan, atau dengan cara yang berbeda.


“Masih banyak ekspresi wajah yang ia sembunyikan di hadapanmu. Juga, yang tak benar-benar kamu perhatikan karena kamu terlalu asyik dan sibuk dengan duniamu.” (hal. 5)




Kesimpulan 

Overall novel ini bagus, ringan, menguras emosi, dan heart warming. Tapi di sisi lain, novel ini terlalu banyak membahas kutipan agama atau kutipan beberapa tokoh, yang jadinya aku ngerasa ini seperti setengah buku non-fiksi. Ngga tau juga si ya, karena aku jarang banget membaca novel, tapi aku merasanya seperti itu. Dan menurutku, klimaksnya sangat dipaksakan dan terburu-buru, dan endingnya cukup mudah ditebak. 


Sekian, terima kasih udah membaca dan semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.