Ketika Introvert Bersosialisasi : Sebuah Refleksi

Maret 31, 2024


Akhir-akhir ini, saya semakin sering terlibat dalam beberapa kegiatan sosial. Sebagai seorang introvert, jelas itu keluar dari zona nyaman saya. Meski begitu, tahun ini saya ingin mulai lebih membuka diri untuk menjalin pertemanan yang lebih luas dan mencoba berbagai aktivitas sosial.

Orang-orang di sekitar saya mungkin menganggap saya sebagai seorang ekstrovert, karena saya terlihat sering aktif terlibat dalam berbagai kegiatan sosial. Namun, sebetulnya saya sangat-sangat introvert. Hasil tes kepribadian yang saya lakukan beberapa kali menunjukkan antara tipe INFJ atau INTJ, namun saya sendiri merasa cenderung lebih condong ke INFJ. Saya pun sebenernya nggak begitu yakin, karena ada yang bilang juga tes MBTI itu kurang akurat.


Tapi kalau dilihat hasil tesnya, saya setuju dengan penilaian bahwa sebagai seorang INFJ, salah satu letak kepuasannya adalah ketika melakukan sesuatu hal yang memberikan dampak positif bagi kemanusiaan atau membantu orang lain. Inilah alasan mengapa saya merasa puas dan senang jika terlibat dalam kegiatan sukarelawan serta berbagai kegiatan sosial lainnya yang berhubungan dengan masyarakat.

Terlepas dari itu, saya juga menyadari bahwa bersosialisasi adalah hal yang penting dalam hidup. Menurut Stephen R. Covey dalam bukunya, mengatakan bahwa “Kita hidup dalam realitas yang saling tergantung dan pencapaian terpenting kita menuntut keahlian saling tergantung.”. Begitu juga dalam Stoikisme, bahwa manusia adalah makhluk sosial yang alangkah lebih baik tidak mengisolir diri. Dalam buku Filosofi Teras, disebutkan bahwa ajaran Stoikisme mengajarkan kita betapa pentingnya untuk senantiasa menjaga kehidupan sosial kita.

“Dahan yang dipotong dari dahan sebelahnya juga terputus dari pohon keseluruhan. Begitu juga manusia yang terpisahkan dari manusia lain juga terputus dari masyarakat keseluruhan.” Marcus Aurelius (Meditations)

Dari dua gagasan tersebut, saya menyadari akan pentingnya bersosialisasi dalam kehidupan manusia. Melalui pemahaman ini, saya yang dulunya sangat menyukai kesendirian dan menghindari interaksi sosial, mulai membuka diri dan meninggalkan zona nyaman untuk terlibat dalam berbagai kegiatan sosial. Meskipun proses adaptasi terhadap lingkungan yang membutuhkan banyak interaksi dengan orang banyak tetap menjadi tantangan besar bagi saya, dan seringkali saya merasa mudah stres karena kehabisan energi.

Saya memahami betul bahwa menjadi seorang introvert dalam dunia yang didominasi oleh ekstrovert tidaklah mudah. Saya sering disalahpahami jika sedang terlihat diam. Banyak orang diluar sana yang masih mengira bahwa kepribadian introvert sebagai seseorang yang pemalu dan pendiam. Padahal, untuk mendefinisikan introvert tidak sesederhana itu. Bahkan introvert itu tidak sama dengan pemalu. Dilansir dari satupersen.net, introvert memang cenderung lebih pemikir. Kami lebih fokus dan efektif saat bekerja sendiri di belakang layar. Cara kami mengisi ulang energi adalah dengan menyendiri. Berbeda dengan ekstrovert yang mengisi ulang energinya justru dengan bertemu dan berinteraksi dengan banyak orang. Introvert juga cenderung lebih suka mendengarkan daripada berbicara. Itulah mengapa banyak diantara kami yang lebih menikmati diam dan menyimak pembicaraan. Jadi jangan di-judge kalau kami sering diam, kita aja ngga pernah nge-judge ekstrovert itu cerewet, haha.

Kembali lagi ke pembicaraan mengenai kegiatan sosial yang sedang saya jalani akhir-akhir ini. Sepertinya saya masih dalam proses adaptasi diri dengan aktivitas baru saya. Mungkin itu juga yang menyebabkan energi saya cepat habis. Ketika memungkinkan, saya mengambil kesempatan untuk menyendiri dan sejenak memutuskan koneksi saya dengan orang lain termasuk media sosial. Percaya atau tidak, interaksi di media sosial juga bisa menguras energi saya. Bagi sebagian orang yang dekat dengan saya, mungkin mereka sudah tau, ada sesekali saya bisa benar-benar menghilang, baik dari dunia nyata maupun maya. Kalau saya tidak aktif di media sosial terutama whatsapp, itu tandanya energi saya sudah benar-benar habis.

Meskipun terkadang sulit untuk menemukan keseimbangan antara kebutuhan akan kesendirian dan keinginan untuk terlibat dalam kegiatan sosial, saya menyadari bahwa keduanya sama pentingnya bagi perkembangan diri saya.Saya belajar untuk menyesuaikan diri dan tidak terlalu keras pada diri sendiri ketika energi saya terkuras dan saya membutuhkan waktu untuk pulih. Saya juga belajar untuk menghargai keunikan dan kelebihan yang dimiliki oleh seorang introvert, yang seringkali terabaikan dalam budaya yang lebih memuja ekstrovert.

Intinya, saya menikmati setiap proses dan kegiatan yang saya jalani. Meskipun bersosialisasi itu penting, saya juga menyadari pentingnya menghargai dan merawat energi pribadi, dengan menyadari kapan saatnya untuk menyendiri dan merestorasi diri.

*tulisan ini berdasarkan refleksi dan opini pribadi

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.